PDM Kota Surakarta - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Surakarta
.: Home > Artikel

Homepage

Urgensi Pendidikan Multikultural

.: Home > Artikel > PDM
21 Mei 2014 00:04 WIB
Dibaca: 2259
Penulis : Muhdiyatmoko, S.Pd

 

Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita kembali tercoreng oleh beberapa oknum siswa yang melakukan tindak kekerasan. Bahkan kekerasan itu silih berganti terjadi di atmosfer pendidikan kita. Seperti tragedi berdarah siswa SMP di Purbalingga dan yang terbaru adalah kasus tawuran pelajar antara SMA N 6 dengan SMA N 70 Jakarta.  Kedua peristiwa itu seakan melengkapi deretan panjang kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan bangsa ini. Bangsa yang konon terkenal ramah dan menjunjung tinggi etika. Memang sebuah keironisan manakala hal ini sering terjadi dan tidak ada upaya untuk memotong rantai kekerasan.

Upaya memotong rantai kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini perlu untuk segera dicarikan solusinya. Solusi yang cepat, tepat, dan akurat. Mengingat tindak kekerasan itu terjadi silih berganti dan telah banyak memakan korban. Seperti kasus berdarah di Purbalingga . Kasus tewasnya siswa SMP akibat ditusuk oleh temannya sendiri yang masih satu sekolah itu menyisakan duka bagi pihak keluarga dan sekolah. Hal ini terjadi berawal dari saling ejek lewat SMS dan perang mulut, keduanya bersitegang yang berujung maut akibat kena tusuk senjata tajam. Selain itu menurut pengakuan tersangka peristiwa itu dilakukannya karena tersulut  emosi dan merasa dendam dengan korban. Dia mengaku selama ini keadaan rumah dan orang tuanya menjadi bahan olok-olok dan ejekan korban. Namun, selama ini tidak berani melawan. Hingga akhirnya terjadilah tragedi berdarah tersebut. Disinilah pentingnya sikap toleran dan pendidikan multikultural untuk dikembangkan dalam dunia pendidikan kita.

Pendidikan multikultural sangat urgen untuk dikembangkan di Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistik dan majemuk dengan beragam etnis, agama, ekonomi, sosial, dan budaya. Jika hal ini tidak dilakukan dikhawatirkan akan terjadi sebuah pereduksian nilai-nilai budaya bangsa dan akhirnya para siswa akan tercerabut dari akarnya. Mengingat di era globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik.

Anak didik dari waktu ke waktu memiliki karakteristik dan pola tantangan yang berbeda. Di era globalisasi ini, di mana informasi begitu deras mengalir ke seluruh penjuru negeri, sangat dimungkinkan akan terjadi transfer kultur dan persinggungan antar budaya. Berbagai budaya bangsa yang telah ada ini akan mengalami benturan-benturan dengan budaya asing yang begitu mudah diakses melalui beragam media ( televisi dan internet ).

Memang interaksi nilai-nilai budaya akan memungkinkan para peserta didik goyah. Konsumsi produk budaya Barat melalui media televisi, bioskop, internet, dan media massa menghasilkan nilai-nilai budaya yang telah disesuaikan. Di sinilah terjadi kehilangan identitas budaya yang maknanya dapat positif dan negatif. Budaya bangsa yang ramah, sopan, adiluhung, bermoral, bermartabat akan sirna manakala penyesuaian itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan pragmatis, hedonistis, praktis, dan permisif.

Menggejalanya kekerasan dan dekadensi moral di kalangan pelajar akhir-akhir ini hendaknya diseriusi oleh pemerintah. Para pelajar yang berangkat dari berbagai lata belakang yang berbeda (ekonomi, sosial, budaya, suku, agama) hendaknya mampu membawa kerukunan, kedamaian, dan ketenangan. Perbedaan bukanlah barang haram yang harus dilenyapkan. Perbedaan bukan sebagai bahan olok-olok ataupun ejekan. Akan tetapi, perbedaan adalah sebuah rahmat dan fitrah manusia yang harus dimenej untuk menjadi modal bangsa dalam membangun Indonesia yang bermarbat dan bermoral.

 

Pembentukan Karakter Peserta Didik

            Mewujudkan pendidikan multikultural dapat melalui pembentukan karakter peserta didik. Bagaimana peserta didik mampu bersikap toleran, saling menghargai atas perbedaan yang ada, menghargai HAM, saling menolong sesama meskipun berangkat dari latar belakang yang berbeda.

            Pembentukan karakter itu pun tidak terlepas dari peran keluarga, masyarakat, dan sekolah itu sendiri. Ketiganya harus berjalan sinergis, serasi, selaras, dan sejalan. Manakala salah satu ranah itu tidak sinergis, maka yang terjadi adalah ketimpangan-ketimpangan yang berakibat dapat membahayakan keutuhan bangsa. Kasus Ambon, Poso, Aceh, Papua, Sampang dan berbagai tindak kekerasan akhir-akhir ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan multikultural. Untuk itu pendidikan multikultural adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam membangun Indonesia yang lebih demokratis, aman, adil, dan berkesejahteraan.

            Keluarga adalah wadah pertama dalam pembentukan karakter, kepribadian, dan pilihan nilai seorang anak. Pola asuh dan didikan dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap sikap dan pola pikir anak. Manakala sejak dini telah ditanamkan pola didikan yang penuh toleran, demokratis, dan tepa selira, maka hal itu akan terbawa dan teraplikasikan ketika mereka menginjak usia dewasa.

            Selain institusi keluarga, sekolah sebagai medium formal dalam pengembangan pola kepribadian, sikap, dan intelektual anak, juga memegang peranan penting dalam mempersiapkan anak didik menghadapi persinggungan budaya di era globalisasi. Apalagi sekolah adalah tempat bertemunya para anak bangsa dalam beragam agama, suku, dan budaya. Jika anak didik kita tidak dibekali akan urgensinya sikap tenggang rasa, toleran, dan demokratis dalam berpikir dan bersikap maka para siswa akan terjebak dalam pertentangan dan permusuhan yang tiada akhir. Bak rantai kekerasan yang tiada ujung. Seperti yang terjadi antara pelajar SMA N 6 dan SMA N 70 akhir-akhir ini. Untuk itu diperlukan adanya penyegaran kembali dalam dunia pendidikan kita akan arti pentingnya pendidikan multikultural dan pendidikan ramah anak. Sehingga diharapkan multietnik, multireligi, dan multikultur itu akan memberikan warna yang padu dan harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

            Selain pentingnya penyadaran tentang sikap toleran, demokratis, dan pemahaman tentang HAM, orientasi sekolah tidak selamanya harus UN atau UASBN an sich. Mata pelajaran selain UN (Ujian Nasional) dianggap pelajaran sampingan dan tidak mendapatkan porsi yang proporsional. Pelajaran budi pekerti, pembentukan karakter harusnya menjadi prioritas dalam desain pembelajaran di samping mapel UN. Meskipun sudah ada pelajaran agama dan kewarganegaraan yang selama ini diterima siswa.

            Medium selanjutnya adalah masyarakat. Masyarakat kita saat ini dengan mudahnya mengakses berbagai informasi dan tayangan dari berbagai media. Implikasinya masyarakat akan terjangkiti suatu kebiasaan dan rutinitas tontonan yang tidak bebas nilai. Sehingga pada akhirnya masyarakat akan meniru apa yang telah ditontonnya itu. Jika tontonan itu hal yang positif tidak menjadi masalah. Tetapi jika tontonan itu negatif dan mengandung nilai destruktif maka secara perlahan masyarakat telah terjerumus dalam kubangan kesengsaraan yang tiada bertepi. Masyarakat akan terbiasa dengan budaya kekerasan dan hal ini dapat berimplikasi terhadap peserta didik. Pasalnya, pola pikir dan tingkah laku anak sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupinya.

            Pendidikan multikultural akan mampu diwujudkan manakala semua pihak (baca: keluarga, sekolah, masyarakat) secara sinergis dan berkesinambungan, bahu-membahu serta bekerja sama mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam ke-bhinnekaan. Sehingga bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang bermoral, bermartabat, dan berakhak mulia.

 

*) Pemimpin Umum Majalah PK Media;

Staf Pengajar Perguruan Muhammadiyah Kottabarat

(tulisan ini pernah dimuat di Majalah PK Media Perguruan Muhammadiyah Kottabarat-Surakarta)


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : pendidikan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website